Latar Belakang Pemikiran
Berdirinya
Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) diprakasai oleh Lafran Pane, seorang mahasiswa
STI (Sekolah Tinggi Islam), kini UII (Universitas Islam Indonesia) yang masih
duduk ditingkat I yang ketika itu genap berusia 25 tahun. Tentang sosok Lafran
Pane, dapat diceritakan secara garis besarnya antara lain bahwa Pemuda Lafran
Pane lahir di Sipirok-Tapanuli Selatan, Sumatera Utara. Beliau adalah anak
seorang Sutan Pangurabaan Pane –tokoh pergerakan nasional “serba komplit” dari
Sipirok, Tapanuli Selatan-. Lafran Pane adalah sosok yang tidak mengenal lelah
dalam proses pencarian jati dirinya, dan secara kritis mencari kebenaran
sejati. Lafran Pane kecil, remaja dan menjelang dewasa yang nakal, pemberontak,
dan “bukan anak sekolah yang rajin” adalah identitas fundamental Lafran sebagai
ciri paling menonjol dari Independensinya.
Sebagai figur pencarai sejati,
independensi Lafran terasah, terbentuk, dan sekaligus teruji, di
lembaga-lembaga pendidikan yang tidak Ia lalui dengan “Normal” dan “lurus” itu
(-Walau Pemuda Lafran Pane yang tumbuh dalam lingkungan nasionalis-muslim
terpelajar pernah juga menganyam pendidikan di Pesantren Ibtidaiyah, Wusta dan
sekolah Muhammadiyah-) ; pada hidup berpetualang di sepanjang jalanan kota
Medan, terutama di kawasan Jalan Kesawan; pada kehidupan dengan tidur tidak
menentu; pada kaki-kaki lima dan emper pertokoan; juga pada kehidupan yang Ia
jalani dengan menjual karcis bioskop, menjual es lilin, dll.
Dari
perjalanan hidup Lafran dapat diketahui bahwa struktur fundamental independensi
diri Lafran terletak pada kesediaan dan keteguhan Dia untuk terus secara kritis
mencari kebenaran sejati dengan tanpa lelah, dimana saja, kepada saja, dan
kapan saja.
Adapun latar belakang pemikirannya
dalam pendirian HMI adalah:
"Melihat dan menyadari keadaan
kehidupan mahasiswa yang beragama Islam pada waktu itu, yang pada umumnya belum
memahami dan mengamalkan ajaran agamanya. Keadaan yang demikian adalah akibat
dari sitem pendidikan dan kondisi masyarakat pada waktu itu. Karena itu perlu
dibentuk organisasi untuk merubah keadaan tersebut. Organisasi mahasiswa ini
harus mempunyai kemampuan untuk mengikuti alam pikiran mahasiswa yang selalu
menginginkan inovasi atau pembaharuan dalam segala bidang, termasuk pemahaman
dan penghayatan ajaran agamanya, yaitu agama Islam. Tujuan tersebut tidak akan
terlaksana kalau NKRI tidak merdeka, rakyatnya melarat. Maka organisasi ini
harus turut mempertahankan Negara Republik Indonesia kedalam dan keluar, serta
ikut memperhatikan dan mengusahakan kemakmuran rakyat”
Namun
demikian, secara keseluruhan Latar Belakang Munculnya Pemikiran dan Berdirinya
HMI dapat dipaparkan secara garis besar karena faktor, sebagai berikut :
1. Penjajahan Belanda atas Indonesia dan
Tuntutan Perang Kemerdekaan
a. Aspek Politik : Indonesia
menjadi objek jajahan Belanda
b. Aspek Pemerintahan : Indonesia berada di bawah
pemerintahan kerajaan Belanda
c. Aspek Hukum : hukum berlaku diskriminatif
d. Aspek pendidikan : proses pendidikan sangat dikendalikan oleh
Belanda.
o
Ordonansi guru
o
Ordonansi sekolah liar
e. Aspek ekonomi : Bangsa Indonesia berada dalam kondisi
ekonomi lemah
f. Aspek kebudayaan : masuk dan berkembangnya kebudayaan yang
bertentangan dengan kepribadian Bangsa Indonesia
g. Aspek Hubungan keagamaan : Masuk dan berkembagnya Agama Kristen di
Indonesia, dan Umat Islam mengalami kemunduran
2. Adanya Kesenjangan dan kejumudan
umat dalam pengetahuan, pemahaman, dan pengamalan ajaran islam
3. Kebutuhan akan pemahaman dan
penghayatan Keagamaan
4. Munculnya polarisasi politik
5. Berkembangnya fajam dan Ajaran
komunis
6. Kedudukan perguruan tinggi
dan dunia kemahasiswaan yang strategis
7. Kemajemukan Bangsa Indonesia
8. Tuntutan
Modernisasi dan tantangan masa depan
Peristiwa Bersejarah 5 Februari 1947
Setelah beberapa kali mengadakan pertemuan yang berakhir
dengan kegagalan. Lafran Pane mengadakan rapat tanpa undangan, yaitu dengan
mengadakan pertemuan secara mendadak yang mempergunakan jam kuliah Tafsir.
Ketika itu hari Rabu tanggal 14 Rabiul Awal 1366 H, bertepatan dengan 5
Februari 1947, disalah satu ruangan kuliah STI di Jalan Setiodiningratan
(sekarang Panembahan Senopati), masuklah mahasiswa Lafran Pane yang dalam prakatanya
dalam memimpin rapat antara lain mengatakan
"Hari ini adalah
pembentukan organisasi Mahasiswa Islam, karena persiapan yang diperlukan sudah
beres. Yang mau menerima HMI sajalah yang diajak untuk mendirikan HMI, dan yang
menentang biarlah terus menentang, toh tanpa mereka organisasi ini bisa berdiri
dan berjalan"
Lafran
Pane mendirikan HMI bersama 14 orang mahasiswa STI lannya, tanpa campur tangan
pihak luar.
Pada awal pembentukkannya HMI bertujuan diantaranya antara lain:
1. Mempertahankan
dan mempertinggi derajat rakyat Indonesia.
2. Menegakkan
dan mengembangkan ajaran agama Islam.
Sementara tokoh-tokoh pemula / pendiri HMI antara lain :
- Lafran
Pane (Yogya),
- Karnoto
Zarkasyi (Ambarawa),
- Dahlan
Husein (Palembang),
- Siti
Zainah (istri Dahlan Husein-Palembang)
- Maisaroh
Hilal (Cucu KH.A.Dahlan-Singapura),
- Soewali
(Jember),
- Yusdi
Ghozali (Juga pendiri PII-Semarang),
- Mansyur,
- M. Anwar
(Malang),
- Hasan
Basri (Surakarta),
- Marwan
(Bengkulu),
- Zulkarnaen
(Bengkulu),
- Tayeb
Razak (Jakarta),
- Toha
Mashudi (Malang),
- Bidron
Hadi (Yogyakarta).
Faktor Pendukung Berdirinya HMI
1. Posisi dan
arti kota Yogyakarta
- Yogyakarta sebagai
Ibukota NKRI dan Kota Perjuangan
- Pusat
Gerakan Islam
- Kota
Universitas/ Kota
Pelajar
- Pusat
Kebudayaan
- Terletak
di Central of Java
2.
Kebutuhan Penghayatan dan Keagamaan Mahasiswa
3.
Adanya tuntutan perang kemerdekaan bangsa Indonesia
4.
Adanya STI (Sekolah Tinggi Islam), BPT (Balai
Perguruan Tinggi)
5.
Gajah Mada, STT (Sekolah Tinggi Teknik).
6.
Adanya dukungan Presiden STI Prof. Abdul Kahar
Muzakir
7. Ummat Islam Indonesia
mayoritas
Faktor Penghambat Berdirinya HMI
Munculnya
reaksi-reaksi dari :
Ø
Perserikatan Mahasiswa Yogyakarta (PMY)
Ø
Gerakan Pemuda Islam (GPII)
Ø
Pelajar Islam Indonesia
(PII)
Fase Pengokohan (5 Februari 1947 - 30 November 1947)
Selama
lebih kurang 9 (sembilan) bulan, reaksi-reaksi terhadap kelahiran HMI barulah
berakhir. Masa sembilan bulan itu dipergunakan untuk menjawab berbagai reaksi
dan tantangan yang datang silih berganti, yang kesemuanya itu semakin
mengokohkan eksistensi HMI sehingga dapat berdiri tegak dan kokoh.
Fase Perjuangan Bersenjata (1947 - 1949)
Seiring dengan tujuan HMI yang digariskan sejak awal
berdirinya, maka konsekuensinya dalam masa perang kemerdekaan, HMI terjun
kegelanggang pertempuran melawan agresi yang dilakukan oleh Belanda, membantu
Pemerintah, baik langsung memegang senjata bedil dan bambu runcing, sebagai
staff, penerangan, penghubung. Untuk menghadapi pemberontakkan PKI di Madiun 18
September 1948, Ketua PPMI/ Wakil Ketua PB HMI Ahmad Tirtosudiro membentuk
Corps Mahasiswa (CM), dengan Komandan Hartono dan wakil Komandan Ahmad
Tirtosudiro, ikut membantu Pemerintah menumpas pemberontakkan PKI di Madiun,
dengan mengerahkan anggota CM ke gunung-gunung, memperkuat aparat pemerintah.
Sejak itulah dendam kesumat PKI terhadap HMI tertanam. Dendam disertai benci
itu nampak sangat menonjol pada tahun \'64-\'65, disaat-saat menjelang
meletusnya G30S/PKI.
Fase Pertumbuhan dan Perkembangan HMI (1950-1963)
Selama para kader HMI banyak yang terjun ke gelanggang
pertempuran melawan pihak-pihak agresor, selama itu pula pembinaan organisasi
terabaikan. Namun hal itu dilakukan secara sadar, karena itu semua untuk
merealisir tujuan dari HMI sendiri, serta dwi tugasnya yakni tugas Agama dan
tugas Bangsa. Maka dengan adanya penyerahan kedaulatan Rakyat tanggal 27
Desember 1949, mahasiswa yang berniat untuk melanjutkan kuliahnya bermunculan
di Yogyakarta. Sejak tahun 1950 dilaksankanlah
tugas-tugas konsolidasi internal organisasi. Disadari bahwa konsolidasi
organisasi adalah masalah besar sepanjang masa. Bulan Juli 1951 PB HMI
dipindahkan dari Yogyakarta ke Jakarta.
Fase Tantangan (1964 - 1965)
Dendam sejarah PKI kepada HMI merupakan sebuah tantangan
tersendiri bagi HMI. Setelah agitasi-agitasinya berhasil membubarkan Masyumi
dan GPII, PKI menganggap HMI adalah kekuatan ketiga ummat Islam. Begitu
bersemangatnya PKI dan simpatisannya dalam membubarkan HMI, terlihat dalam
segala aksi-aksinya, Mulai dari hasutan, fitnah, propaganda hingga aksi-aksi
riil berupa penculikan, dsb.
Usaha-usaha yang gigih
dari kaum komunis dalam membubarkan HMI ternyata tidak menjadi kenyataan, dan
sejarahpun telah membeberkan dengan jelas siapa yang kontra revolusi, PKI
dengan puncak aksi pada tanggal 30 September 1965 telah membuatnya sebagai
salah satu organisasi terlarang.
Fase Kebangkitan HMI sebagai Pelopor Orde Baru (1966 - 1968)
HMI
sebagai sumber insani bangsa turut mempelopori tegaknya Orde Baru untuk
menghapuskan orde lama yang sarat dengan ketotaliterannya. Usaha-usaha itu
tampak antara lain HMI melalui Wakil Ketua PB Mari\'ie Muhammad memprakasai
Kesatuan Aksi Mahasiswa (KAMI) 25 Oktober 1965 yang bertugas antara lain:
1)
Mengamankan Pancasila.
2) Memperkuat bantuan kepada ABRI dalam penumpasan
Gestapu/ PKI sampai ke akar-akarnya.
Masa aksi KAMI yang pertama berupa Rapat
Umum dilaksanakan tanggal 3 Nopember 1965 di halaman Fakultas Kedokteran UI
Salemba Jakarta, dimana barisan HMI menunjukan superioitasnya dengan massanya
yang terbesar.
Puncak aksi KAMI terjadi pada tanggal 10 Januari 1966 yang
mengumandangkan tuntutan rakyat dalam bentuk Tritura yang terkenal itu. Tuntutan
tersebut ternyata mendapat perlakuan yang represif dari aparat keamanan
sehingga tidak sedikit dari pihak mahasiswa menjadi korban. Diantaranya antara
lain : Arif rahman Hakim, Zubaidah di Jakarta, Aris Munandar, Margono yang
gugur di Yogyakarta, Hasannudin di Banjarmasin, Muhammad Syarif al-Kadri di
Makasar, kesemuanya merupakan pahlawan-pahlawan ampera yang berjuang tanpa
pamrih dan semata-mata demi kemaslahatan ummat serta keselamatan bangsa serta
negara. Akhirnya puncak tututan tersebut berbuah hasil yang diharap-harapkan
dengan keluarnya Supersemar sebagai tonggak sejarah berdirinya Orde Baru.
Fase Pembangunan (1969 - 1970)
Setelah
Orde Baru mantap, Pancasila dilaksanakan secara murni serta konsekuen (meski
hal ini perlu kajian lagi secara mendalam), maka sejak tanggal 1 April 1969
dimulailah Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita). HMI pun sesuai dengan 5
aspek pemikirannya turut pula memberikan sumbangan serta partisipasinya dalam
era awal pembagunan. Bentuk-bentuk partisipasi HMI baik anggotanya maupun yang
telah menjadi alumni meliputi diantaranya :
1) partisipasi dalam pembentukan
suasana, situasi dan iklim yang memungkinkan dilaksanakannya pembangunan,
2)
partisipasi dalam pemberian konsep-konsep dalam berbagai aspek pemikiran
3)
partisipasi dalam bentuk pelaksana langsung dari pembangunan.
Fase Pergolakan dan
Pembaharuan Pemikiran (1970 - 1998 )
Suatu ciri khas yang dibina oleh HMI, diantaranya
adalah kebebasan berpikir dikalangan anggotanya, karena pada hakikatnya
timbulnya pembaharuan karena adanya pemikiran yang bersifat dinamis dari
masing-masing individu.
Disebutkan
bahwa fase pergolakan pemikiran ini muncul pada tahun 1970, tetapi
geja-gejalanya telah nampak pada tahun 1968. Namun klimaksnya memang terjadi
pada tahun 1970 dimana secara relatif masalah-masalah intern organisasi yang
rutin telah terselesaikan. Sementara dilain sisi persoalan ekstern muncul
menghadang dengan segudang problema.
Pada
tahun 1970 Nurcholis Madjid menyampaikan ide pembaharuan dengan topic keharusan
pembaharuan didalam pemikiran Islam dan masalah integritas umat. Sebagai
konsekuensinya di HMI timbul pergolakan pemikiran dalam berbagai substansi
permasalahan yang. Perbedaan pendapat dan penafsiran menjadi dinamika di dalam
menginterpretasikan dinamika persoalan kebangsaan dan keumatan. Hal ini
misalnya dalam dialektika dan perbincangan seputar Negara dan Islam, konsep
Negara Islam, persoalan Islam Kaffah sampai pada penyesuaian dasar HMI dari
Islam menjadi Pancasila sebagai bentuk ijtihad organisasi didalam mempertahankan
cita-cita jangka panjang keummatan dan kebangsaan.
Fase
Reformasi
Secara histories sejak tahun 1995 HMI mulai
melaksanakan gerakan reformasi dengan menyampaikan pandangan, gagasan dan
kritik terhadap pemerintahan. Sesuai dengan kebijakan PB HMI bahwa HMI tidak
akan melakukan tindakan-tindakan inkonstitusional dan konfrontatif. Gerakan
koreksi pemerintahanpertama disampaikan pada jaman konggres XX HMI di Istana
Negara tanggal 21 Januari 1995. kemudian peringatan MILAD HMI Ke 50 Saudara
Ketua Umum Taufiq Hidayat menegaskan dan menjawab kritik-kritik yang
menyebutkan bahwa HMI terlalu dekat dengan kekuasaan. Bagi HMI kekuasaan
bukanlah wilayah yang haram. Tetapi adalah wilayah pencermatan dan kekritisan
terhadap pemerintahan. Kemudian dalam penyampaian Anas Urbaningrun pada MILAD
HMI ke 51 di Graha Insan Cita Depok tanggal 22 Pebruari 1998 dengan judul “Urgensi Reformasi bagi
Pembangunan Bangsa Yang Bermartabat”.
MASA
DEPAN HMI TANTANGAN DAN PELUANG
Kritik terhadap HMI datang dari
dalam dan dari luar HMI. Kritik ini sangat positif karena dengan demikian HMI
akam mengetahui kekurangan dan kelebihan organisasi. Sehingga kedepan kita
mampu memperbaiki dan menentukan sikap dan kebijakan yang sesuai dengan keadaan
jaman.
Dari masa kemasa, beberapa persoalan
yang dihadapkan pada HMI tentang kritik independensi HMI, kedekatan dengan
militer, sikap HMI terhadap komunisme, tuntutan Negara Islam, dukungan terhadap
rehabilitasi masyumi, penerimaan azas tunggal Pancasila, adaptasi rasionalitas
pemikiran, dan lain-lain yang memberikan penilaian kemunduran terhadap HMI,
Yahya Muhaimin dalam konggres HMI ke XX mengemukakan konsep tentang
revitalisasi, reaktualisasi, refungsionalisasi, dan restrukturisasi organisasi.
Anas Urbaningrum menjawabnya dengan pemberian wacana politik etis HMI. Yakni dengan langkah : Peningkatan visi HMI,
intelektualisasi, penguasaan basis dan modernisasi organisasi.
Untuk pencapaian tujuan HMI perlu
dipersiapkan kondisi yang tepat sebagai modal untuk merekayasa masa depan
sesuai dengan 5 kualitas insan cita HMI.
Tantangan yang dihadapi HMI dan masa depan bangsa Indonesia sangat komplek.
Tetapi justeru akan menjadi peluang yang sangat baik untuk memperjuangkan
cita-cita HMI sampai mencapai tujuan.
PENUTUP
Dengan mengetahui sejarah masa
lampau dapat diketahui kebesaran dan semangat juang HMI. Hal tersebut merupakan
tonggak bagi HMI untuk meneruskan perjuangan para pendahulunya pada masa kini
dan menuju hari esok yang lebih baik. Mempelajari HMI tidak hanya cukup dengan
mengikuti training formal. Mempelajari dan menghayati HMI harus dilakukan
secara terus menerus tanpa batas kapan dan dimanapun. Dengan cara seperti
itulah pemahaman dan penghayatan akan nilai-nilai HMI dapat dilakukan secata
utuh dan benar.
Yakin
usaha sampai bahagia hmi.
Referensi : HMI
Dan Wacana Revolusi Sosial” Syafinuddin Al-Mandari, 2003 ,Hijau Hitam, Jakarta.